Dee Stories

Kumpulan artikel parenting yang ditulis oleh blogger parenting Indonesia.
Suka travelling & kuliner. Konselor ASI &MPASI.

Bangga Menjadi Perempuan, Mendobrak Tradisi Mengukir Prestasi

  

Bangga menjadi perempuan

“ Ketidaksetaraan perempuan ini akibat dari dibatasinya akses perempuan untuk memperoleh pengetahuan sehingga perempuan menjadi bodoh. Sehingga cara satu-satunya adalah perempuan harus sekolah.” R.A Kartini. 



Quote di atas mencerminkan perjalanan hidup saya sebagai perempuan. Lahir dan besar dalam keluarga patriarki, membuat saya menjadi seorang pendobrak. Menjadi keturunan pertama yang bisa sekolah tinggi. 

Pendidikan adalah modal awal saya untuk bisa berdiri di kaki sendiri hingga saat ini. Melalui pendidikan, saya mendobrak tradisi sekaligus mengukir prestasi. 

Hidup sebagai Perempuan dalam Keluarga Patriarki

Saya adalah perempuan blasteran. Ayah saya Jawa sedangkan Ibu saya adalah keturunan Arab. Meski kedua budaya ini memiliki perbedaan yang mencolok, tapi punya satu persamaan. Sama-sama menganut paham patriarki. Di mana perempuan masih dianggap sebagai warga kelas dua. 

Saat kecil, saya diasuh oleh kakek dan nenek yang merupakan keturunan Arab. Saya tumbuh dalam rumah keluarga besar kakek dan nenek, bersama om dan tante serta saudara sepupu. Semua anak-anak kakek nenek yang tinggal bersama, menikah dengan orang keturunan Arab. 

Otomatis, budaya Arab sangat kental dalam kehidupan sehari-hari. Sayangnya, kebanyakan budaya tersebut memperlakukan perempuan sebagai warga kelas dua. 

Di rumah itu, semua pekerjaan rumah dan urusan mengasuh anak adalah urusan perempuan. Tidak ada perempuan berpendidikan tinggi. Paling mentok lulusan SMA. Tidak ada juga perempuan yang bekerja di luar rumah. 

Baca Juga : Pekerjaan Domestik Tanggung Jawab Siapa?

Perempuan-perempuan keturunan Arab saat itu, banyak yang menikah muda. Lulus SMA bahkan SMP, lalu menikah. Kewajiban menutup aurat juga menjadi sebuah keharusan bagi perempuan keturunan Arab. Bahkan, ada larangan untuk tidak keluar rumah sendirian. Pergaulan dengan lawan jenis juga tidak boleh ada. Tidak ada istilah pacaran. Pernikahan yang sering terjadi di lingkungan keluarga besar kakek, kebanyakan adalah buah dari perjodohan. 

Begitulah gambaran masa kecil saya. Sejak kecil saya melihat bagaimana gerak-gerik perempuan serba dibatasi. 

Kesempatan itu Bernama Pendidikan

Meski kakek adalah orang yang keras, cintanya mengalir deras. Bisa dibilang, saya adalah cucu kesayangan kakek. Kakek mendukung semua impian saya. Bahkan, beliau pun rela memutus rantai tradisi demi mendukung saya. 


Abi, cinta terbesar dalam hidup saya


Mulai dari kebebasan memilih pendidikan. Saat itu, semua keturunan kakek baik anak hingga cucu, bersekolah di sekolah islam. Sekolah islam di mana mayoritasnya murid-muridnya adalah orang keturunan Arab. Namun, saya memilih untuk bersekolah di sekolah negeri. Dulu, saya berdalih bahwa, saya bukan Arab murni, canggung jika harus bersekolah bersama anak-anak Arab totok. 

Kakek mengabulkan permintaan saya itu. Kepercayaannya tak saya sia-siakan. Saya selalu meraih peringkat tiga besar mulai dari SD hingga SMA. Tak hanya itu, saya juga memiliki banyak prestasi di luar akademik. Saya kerap kali menjuarai lomba karya ilmiah remaja. 

Tentu saja itu membuat kakek bangga. Hingga akhirnya beliau mengizinkan saya untuk melanjutkan pendidikan ke Perguruan Tinggi. 

Baca Juga : Meningkatkan Partisipasi Perempuan dalam Dunia Teknologi: Tantangan dan Peluang

Ini sebuah hal besar dalam keluarga besar. Banyak om dan tante menentang. Menurut mereka, perempuan tak perlu sekolah tinggi. Setelah lulus SMA, seharusnya saya menikah. Sebagaimana yang sudah terjadi selama beberapa generasi di keluarga kami. 

Namun kakek tetap pada pendiriannya. Saya diizinkan kuliah. Apalagi, saat itu saya diterima oleh Perguruan Tinggi Negeri terbaik di Surabaya tanpa tes! Selama kuliah saya juga mendapatkan beasiswa penuh. 

Kakek tak perlu mengeluarkan biaya. Cucu perempuannya bisa kuliah tanpa harus memusingkan biaya. Maklum, kami bukan dari keluarga mampu, kuliah menjadi barang mewah yang seringnya tak terjangkau. 

Pendidikan dan Kesetaraan

Bangga menjadi perempuan


Benar kiranya, kesetaraan bisa dicapai dengan pendidikan. Akses pendidikan yang saya miliki, membuat saya memiliki kesempatan yang sama layaknya laki-laki. 

Kesempatan mengeluarkan pendapat, kesempatan menentukan pilihan, hingga kesempatan mendapatkan pekerjaan. 

Baca Juga : Review Buku : Cinta untuk Perempuan yang Tidak Sempurna

Bahkan, dengan pendidikan pula saya bisa mendapatkan kesetaraan dalam menjalani hubungan. Memiliki kesempatan memilih jodoh saya sendiri. Juga menjalankan relasi setara dalam pernikahan. 

Penutup

Saya bangga lahir sebagai perempuan. Saya tak malu karena mendobrak tradisi. Pendidikan menjadi modal utama bagi perempuan untuk meraih kesetaraan. 

Jadi, buat semua perempuan di luar sana, teruslah berjuang dalam mendapatkan akses pendidikanmu. Raihlah pendidikan terbaik untukmu. 

Baca Juga : Merayakan Hari Perempuan Internasional 2025: Percepatan Aksi Menuju Kesetaraan Gender

Pendidikan akan membantumu mendobrak tradisi dan mengukir prestasi. Buktikan pada dunia, bahwa kamu mampu! 




1 komentar