Halo, teman deestories!
Beberapa hari lalu, saya sempat bertengkar dengan suami. Sebabnya, akhir-akhir ini dia sering menghabiskan waktu sendiri di rumah. Duduk main handphone di ruang tamu. Masuk kamar hampir selalu larut malam. Akibatnya, saya tak ada waktu untuk mengobrol. Padahal, biasanya kami selalu melakukan pillow talk sebelum tidur.
Ternyata, baru kemarin dia bercerita bahwa ada masalah yang harus diselesaikan. Dia perlu waktu sendiri untuk berpikir dan mengambil solusi. Setelah masalahnya selesai, baru dia bercerita pada saya.
Saya tanya, kenapa nggak cerita dari awal. Katanya, laki-laki tidak bercerita! Saat menghadapi masalah, laki-laki harus mencari solusi, bukan sibuk bercerita sana-sini!
Hmm, inilah contoh adanya toxic masculinity. Tanpa disadari, toxic masculinity ini bisa membahayakan laki-laki dan ujung-ujungnya bisa menyengsarakan perempuan!
Mengenal Toxic Masculinity
Toxic masculinity tidak merujuk pada sifat maskulin secara keseluruhan, melainkan pada versi maskulinitas yang menekankan stereotip beracun. Beberapa ciri khasnya meliputi:
Keyakinan bahwa laki-laki harus kuat secara emosional dan tidak menunjukkan kerentanan.
Ekspektasi bahwa laki-laki harus dominan, kompetitif, dan agresif dalam segala situasi.
Pemikiran bahwa laki-laki yang tidak sesuai dengan stereotip tersebut dianggap "kurang jantan" atau lemah.
Norma-norma ini sering diperkuat melalui media, budaya pop, pendidikan, dan tradisi keluarga, sehingga menjadi bagian yang sulit diubah dalam pola pikir banyak individu.
Baca Juga : Lelaki Tidak Bercerita
Laki-laki tidak bercerita adalah salah satu contoh betapa toxic masculinity telah tertanam kuat. Dalam pikiran banyak laki-laki, bercerita menunjukkan sebuah kelemahan. Dan laki-laki tidak boleh lemah!
Dampak Toxic Masculinity
Layaknya racun, toxic masculinity juga membahayakan. Tidak hanya bagi laki-laki itu sendiri, tetapi juga bagi perempuan.
Baca Juga : Perempuan Tidak Bercerita
Berikut beberapa dampak dari toxic masculinity.
1. Kesehatan mental laki-laki
Banyak laki-laki merasa tertekan untuk memenuhi standar maskulinitas yang tidak realistis. Hal ini sering kali menyebabkan mereka menekan emosi, menghindari mencari bantuan untuk masalah kesehatan mental, atau merasa malu jika menunjukkan kerentanan. Akibatnya, angka bunuh diri pada laki-laki cenderung lebih tinggi dibandingkan perempuan di banyak negara.
2. Hubungan yang tidak sehat
Ketidakmampuan untuk berkomunikasi secara emosional dan tekanan untuk menunjukkan dominasi dapat mempengaruhi hubungan interpersonal, baik itu dengan pasangan, keluarga, maupun teman.
3. Kekerasan dan agresi
Toxic masculinity sering dikaitkan dengan perilaku kekerasan, baik secara fisik maupun verbal. Ekspektasi bahwa laki-laki harus kuat dan dominan dapat memicu tindakan agresif sebagai cara untuk mempertahankan "status" mereka.
4. Diskriminasi gender
Pemikiran bahwa laki-laki lebih superior dibandingkan wanita atau bahwa peran tertentu hanya cocok untuk laki-laki menciptakan ketidaksetaraan gender yang terus berlanjut.
Mengubah Pola Pikir, Memberantas Toxic Masculinity
Tentu saja, toxic masculinity ini harus diberantas. Agar tidak membahayakan laki-laki dan menyengsarakan perempuan. Memberantas toxic masculinity dimulai dari mengubah pola pikir, melalui beberapa langkah berikut:
1. Edukasi dan kesadaran
Memahami bahwa maskulinitas tidak harus didasarkan pada stereotip adalah langkah awal. Kampanye kesadaran dan diskusi publik dapat membantu mendekonstruksi norma-norma beracun.
2. Mendorong ekspresi emosional
Laki-laki perlu diajarkan bahwa menunjukkan emosi adalah hal yang sehat dan manusiawi. Membuka ruang untuk berbicara tentang perasaan dapat membantu mengurangi tekanan sosial.
3. Mendukung kesetaraan gender
Menghargai peran dan kemampuan individu tanpa memandang gender membantu menciptakan lingkungan yang inklusif dan saling mendukung.
4. Mengubah representasi di media
Media memiliki peran besar dalam membentuk persepsi. Representasi laki-laki yang menunjukkan kerentanan, empati, dan kelembutan harus diperbanyak agar masyarakat memahami bahwa maskulinitas memiliki spektrum yang luas.
Penutup
Toxic masculinity adalah tantangan yang membutuhkan perhatian serius karena dampaknya yang meluas. Toxic masculinity membahayakan laki-laki dan menyediakan perempuan. Dengan membangun kesadaran dan mengambil langkah-langkah konkret, kita dapat menciptakan dunia di mana laki-laki merasa bebas menjadi diri mereka sendiri tanpa tekanan untuk memenuhi standar maskulinitas yang merugikan. Dalam dunia seperti ini, baik laki-laki maupun perempuan dapat hidup dengan lebih seimbang, sehat, dan bahagia.
Wah, pemilihan topik tulisannya menarik banget. Informasi yang disampaikan bikin lebih paham tentang toxic masculinity dan dampaknya. Makasih banget kak udah ngebahas isu penting ini!
BalasHapusBagus artikelnya, emang harus banyak-banyak mengedukasi ke banyak orang mengenai racun maskulinitas ini. Lelaki tidak bercerita? Dipendem aja sendiri tar stres. Ayo bercerita hehe.
BalasHapusInfo yg menarik. Khususnya buat orang orang yang sering melebelkan laki-laki dengan harus seprti ini atau sperti itulah. Membuat orang tersebut tidak menjadi dirinya sendiri....
BalasHapusNewsartstory
Hehehe, tulisan yang sangat menarik. Kenyataan memang begitu adanya, maskulinitas yg tidak sesuai harapan perempuan
BalasHapusToxic masculinity memang merusak banget sih. Seringkali laki-laki merasa harus serba kuat dan bisa. Bahkan, untuk yang mohon maafnya kurang berpendidikan, ada juga loh yang sampai sakit-sakitan.
BalasHapusSemua diawali beban pikiran dan mental, akhirnya membuat fisik ikut sakit. Akhirnya apa? Bukannya jadi tempat berlindung kaum perempuan dalam keluarga, justru jadi beban buat istri, anak, dan bahkan merusak hubungan lainnya. Misalnya menantu jadi memandang rendah keluarga yang bersangkutan, kerabat jadi meremehkan, dll.
Padahal kenapa nggak biasa aja, kekurangan diakui, ada masalah cerita, dan gak harus membeda-bedakan anak laki-laki dan perempuan mana yg lebih unggul. Toh nyatanya, secara real, di keluarga justru anak-anak perempuanlah yang mampu mandiri tidak membebani orang lain. Bahkan paling besar perannya di keluarga.
Ini nyata loh kak. Saya lihat di keluarga besar saya dan suami juga.
Toxic masculinity memang menjadi isu yang memerlukan perhatian serius karena dampaknya tidak hanya terbatas pada laki-laki, tetapi juga meluas ke perempuan dan masyarakat secara umum. Tekanan untuk memenuhi standar maskulinitas yang merugikan sering kali membuat laki-laki merasa tertekan untuk menekan emosinya, menunjukkan kekerasan, atau mengikuti norma yang tidak sehat.
BalasHapusCerita ini relatable banget. Kadang tuh kita lupa kalau laki-laki juga bisa merasa tertekan sama ekspektasi masyarakat soal maskulinitas. Padahal bercerita dan menunjukkan emosi itu manusiawi, bukan kelemahan. Semoga makin banyak yang sadar soal toxic masculinity ini.
BalasHapusperlu banget ya meluruskan peran sesuai gender yang sesungguhnya bukan sekedar anggapan orang banyak yang kadang justru menyesatkan
BalasHapusIya benar Bunda, meluruskannya ini penting, biar gak ada lagi hal² aneh yang menyimpang
HapusSaya malah pernah dengar ada influencer bilang kalau kampanye toxic masculinity ini bikin cowok jadi feminin. Logikanya lompat-lompat 🥲
BalasHapusSebagai laki-laki, ada juga perasaan harus kuat secara emosional, walaupun dengan pasangan sendiri. Apalagi soal keuangan, laki-laki memang harus punya tanggung jawab lebih ya. Tapi kalo soal emosional, setelah dewasa paham bahwa menyimpan masalah sendiri itu gak baik, ada pasangan yang siap mendengarkan dan mendekap di kala laki-laki itu merasa lemah dan tertekan.
BalasHapusApapun masalah yang dihadapi, lebih baik tidak dipendam sendiri baik laki-laki atau pun perempuan. Karena tanpa disadari, hal itu justru akan membuathati tidak tenang dan ujung2nya bisa saja emosi yang tak disadari pun akan muncul.
BalasHapusMungkin toxic masculinity ini ibarat laki2 yg susah komunikasi apalagi sama istri di rumah. Takut dianggap beban. Padahal gak ada salahnya curhat
BalasHapustoxic masculinity ini memang hal yang bisa berdampak negatif ya, mbak dalam hubungan. Saya sendiri belakangan sering menonton kajian dokter aisah dahlan sih buat lebih mengerti bagaimana otak laki-laki bekerja dan bagaimana menyikapi kalau suami begini dan begini
BalasHapussaya baru tahu ada istilahnya loh terkait hal ini. selama ini saya hanya beranggapan bahwa, oh pria memang seperti itu. dia punya habit dan penyelesaian sendiri yang memang berbeda dengan wanita.
BalasHapuskalau menurut saya sih kembali ke personalnya meski memang ada dampak kurang baiknya pada pasangan. intinya kembali ke komunikasi dan gimana caranya agar bisa saling memahami dan melerai ego masing -masing.
Wah, yang seperti ini ternyata namanya Toxic Masculinity yaa.. Di.
BalasHapusAku baru tau dan aku pikir, ada kalanya seseorang membutuhkan dirinya sendiri untuk mengurai masalah. Kalau diceritain, memang jadi lebih lega siih..
Bener banget mba. Saya mengalami sendiri, orang di sekitar saya terlihat begitu kuat dari luar. Tapi ga tahunya di dalam menyimpan banyak luka. Ini yang bahaya karena terlihat baik-baik saja sehingga orang lain tidak merasa khawatir/perlu membantu. Sebenarnya laki-laki yang curhat mengenai masalahnya tuh gapapa banget. Meski ga langsung ketemu solusi tapi beban akan berkurang. Dengan begini, bisa lebih jernih saat mengambil keputusan. Tapi lingkungan kadang juga menuntut laki-laki harus kuat tidak boleh terlihat lemah huhu.
BalasHapusMenarik baca artikelnya.. sesulit itu laki-laki buat bercerita padahal apa2 yang dipendam gak baik buat kesehatan hehe
BalasHapusManusiawi ko laki-laki butuh perhatian karena di momen itu perempuan ada peran menjadi sandaran