Beberapa waktu lalu, media sosial diramaikan dengan keluhan orang tua tentang proyek P5. Menurut mereka, P5 yang menjadi salah satu bagian dari penerangan Kurikulum Merdeka itu merepotkan dan menghabiskan banyak biaya! Hmm, padahal teorinya tidak begitu. Pengalaman saya juga, di sekolah anak-anak, P5 itu mudah. Berjalan sederhana dan dan minim drama!
Mengenal P5
P5 adalah proyek pengembangan karakter pelajar untuk dapat hidup dan berperilaku sesuai dengan nilai-nilai pancasila. Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5) merupakan kegiatan pembelajaran lintas disiplin ilmu yang mengamati dan mencari solusi mengenai masalah-masalah yang ada di sekitar.
P5 merupakan pembelajaran lintas disiplin ilmu yang bertujuan untuk mengidentifikasi dan merumuskan solusi terhadap permasalahan di lingkungan sekitar. P5 menggunakan pendekatan pembelajaran berbasis proyek (project-based learning), yang berbeda dari pembelajaran berbasis proyek di dalam kelas.
Sebagai sarana pencapaian profil Pelajar Pancasila, P5 memberikan kesempatan bagi peserta didik untuk mengalami pengetahuan sebagai bagian dari penguatan karakter, sekaligus memberikan kesempatan.
Profil Pelajar Pancasila adalah konsep yang diusung oleh pemerintah Indonesia untuk membentuk karakter pelajar yang mencerminkan nilai-nilai Pancasila. Profil ini terdiri dari enam dimensi, yaitu:
- Beriman, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan berakhlak mulia
- Berkebinekaan global
- Bergotong royong
- Mandiri
- Bernalar kritis
- Kreatif
Penerapan P5 di Sekolah
Profil Pelajar Pancasila tercermin dalam kehidupan sehari-hari peserta didik melalui beberapa aspek. Berikut adalah penerapan P5 di sekolah, dikutip dari laman resmi Merdeka Pengajar Kemdikbud.
1. Budaya Satuan Pendidikan
Profil Pelajar Pancasila menjadi bagian penting dari budaya sekolah, terintegrasi dalam iklim sekolah, kebijakan, pola interaksi, komunikasi, dan norma yang berlaku di satuan pendidikan.
2. Pembelajaran Intrakurikuler
Dalam kurikulum, Profil Pelajar Pancasila tercermin dalam Capaian Pembelajaran, tujuan pembelajaran, serta materi/topik pembelajaran yang mencakup keenam dimensinya.
Baca Juga : Pameran Karya sebagai Refleksi Merdeka Belajar
3. Pembelajaran Kokurikuler (Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila)
Profil Pelajar Pancasila menjadi opsi dalam kegiatan Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila di tingkat kokurikuler. Keenam dimensi menjadi fokus penentuan tujuan kegiatan dan dasar asesmen projek.
4. Pembelajaran Ekstrakurikuler
Keenam dimensi Profil Pelajar Pancasila terintegrasi dalam pengembangan minat dan bakat melalui kegiatan ekstrakurikuler.
Dengan pendekatan ini, peserta didik tidak hanya memahami nilai-nilai Pancasila secara teoritis, tetapi juga menerapkannya dalam berbagai konteks kehidupan, baik di dalam maupun di luar lingkungan pendidikan formal.
Miskonsepsi P5
Kalau dilihat teorinya, P5 ini bagus. P5 mengajak peserta didik untuk lebih memahami konsep pembelajaran melalui pengalaman langsung. Tak sekadar belajar teori, peserta didik bisa mempraktikkan apa yang sudah dipelajari. Tak hanya bermanfaat bagi dirinya, tapi juga menebarkan manfaat bagi orang-orang disekitarnya.
Namun, apa daya. Praktik tak seindah teori. Ini membuat orang tua murid mengeluh. Bagi mereka, P5 ini menghabiskan waktu dan biaya. Hmm mengapa bisa demikian? Semua ini karena adanya miskonsepsi dalam penerapan P5.
Miskonsepsi P5 yang sering terjadi antara lain;
1. Menganggap P5 sebagai Mata Pelajaran Terpisah
Banyak yang mengira P5 harus diajarkan seperti mata pelajaran dengan kurikulum, silabus, dan buku ajar tersendiri. Padahal, P5 adalah kegiatan proyek lintas tema yang bertujuan untuk mengembangkan karakter dan kompetensi sesuai dengan Profil Pelajar Pancasila melalui pengalaman belajar yang kontekstual, bukan sebagai mata pelajaran akademis.
2. Menyamakan P5 dengan Proyek Berbasis Penilaian Akademik
P5 sering disalahpahami sebagai proyek yang mengukur hasil belajar akademik siswa. Sebenarnya, P5 bertujuan untuk membentuk karakter dan keterampilan sosial-emosional siswa, sehingga penilaiannya lebih ke arah observasi proses, keterlibatan, dan pengembangan karakter, bukan nilai akademis.
3. Mewajibkan Produk Fisik dalam P5
Ada anggapan bahwa setiap proyek P5 harus menghasilkan produk fisik (seperti kerajinan atau pameran). Padahal, tidak semua proyek perlu menghasilkan produk akhir yang konkret. Yang terpenting dalam P5 adalah proses siswa memahami nilai-nilai Pancasila dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Baca Juga : Mengintip Keseruan Pameran Karya Murid SMM, Kenalkan Budaya Nusa Tenggara
4. Berfokus pada Kegiatan yang Rumit dan Biaya Tinggi
Beberapa sekolah merasa P5 harus melibatkan kegiatan yang mahal atau rumit, seperti kunjungan industri atau pameran besar. Padahal, P5 bisa berupa kegiatan sederhana yang disesuaikan dengan konteks sekolah dan lingkungan sekitar, tanpa harus membebani sekolah atau orang tua.
5. Mengabaikan Kolaborasi antar Guru
Karena P5 adalah proyek lintas tema, idealnya melibatkan kolaborasi antarguru dari berbagai mata pelajaran. Salah kaprah yang terjadi adalah ketika proyek dikerjakan hanya oleh satu guru tanpa integrasi dengan guru lain. Padahal, kerja sama guru dari bidang yang berbeda bisa memperkaya pengalaman siswa dalam memahami nilai Pancasila secara holistik.
6. Tidak Melibatkan Siswa dalam Proses Perencanaan
P5 sering kali dirancang sepenuhnya oleh guru tanpa melibatkan siswa dalam menentukan tema atau kegiatan proyek. Padahal, salah satu prinsip Kurikulum Merdeka adalah memberikan kebebasan pada siswa untuk memilih dan berpartisipasi dalam perencanaan kegiatan yang relevan dengan minat dan kebutuhan mereka.
Semua miskonsepsi tersebut membuat orang tua merasa kesulitan saat anaknya menghadapi P5. Orang tua harus ikut repot dalam mengerjakan proyek. Belum lagi harus mengeluarkan banyak biaya. Tak heran jika P5 menjadi polemik di masyarakat.
Hmm, padahal, selama dua tahun terakhir ini, penerapan P5 di sekolah anak-anak saya berjalan lancar. Anak-anak menjalani prosesnya secara mandiri dengan senang hati. Orang tua juga tidak perlu mengeluarkan biaya.
Kok bisa?
Penerapan P5 di Sekolah Anak
Sebenarnya, sekolah anak-anak menerapkan Kurikulum Merdeka dan Kurikulum Kompetensi Masa Depan. Tujuanya agar anak punya cara belajar sesuai minat dan bakatnya. Anak jadi mudah pahami konsep belajar hingga mencapai perkembangan karakternya sesuai tahapan usia.
Di sekolah anak-anak tidak pernah dikenal konsep P5. Judulnya sih nggak P5, tapi dalam praktiknya bisa dibilang ini sama. Saya bahkan bertanya pada guru kelas. Apakah proyek sumatif yang dikerjakan anak-anak setiap 3 bulan sekali ini adalah P5. Dan jawabannya sih iya.
Jadi gini, sekolah anak-anak menerapkan pembelajaran berbasis proyek. Setiap 3 bulan sekali, membuat proyek sebagai penilaian tengah semester. Kalau di sekolah konvensional, ada UTS (Ulangan Tengah Semester) yang digelar setiap 3 bulan sekali, di sekolah anak-anak ada proyek sumatif.
Di proyek ini, anak-anak wajib membuat produk berdasarkan apa yang sudah dipelajari dalam 3 bulan terakhir. Tentu saja ini menyangkut semua pelajaran. Mulai dari Numerasi, IPAS (Ilmu Pengetahuan Alam dan Sosial), hingga Literasi.
Proyek sumatif si sulung, membuat media edukasi agen pubertas. Sebab, selama 3 bulan terakhir, dia belajar tentang pubertas. Guru memberikan kebebasan dalam memilih media edukasi. Si sulung memilih dalam bentuk poster. Sedangkan teman-temannya ada yang dalam bentuk video edukasi, infografis, hingga podcast.
Dalam proyek tersebut, semua mata pelajaran bisa diaplikasikan. Pubertas banyak membahas sisi IPAS, sedangkan pembuatan media adalah bagian dari belajar literasi (pemilihan kata) dan numerasi (ukuran poster). Selain itu, menjadi agen edukasi pubertas merupakan implementasi profil pelajar Pancasila.
Baca Juga : Saat Anak Menjadi Agen Edukasi Pubertas
Sedangkan si bungsu membuat proyek makanan sehat. Dia membuat agar-agar dan smoothie buah. Sama seperti kakaknya, proyek ini menjadi wujud semua pelajaran yang sudah dipelajari.
Setelah proyek selesai dibuat. Anak-anak melakukan presentasi di kelas. Orang tua bisa ikut menyaksikan dan bertanya melalui video conference. Lalu, di akhir pembelajaran, diadakan pameran karya.
Pameran karya menjadi ajang memamerkan hasil proyek anak-anak. Pameran karya diadakan di sekolah. Seluruh guru dan peserta didik bergotong royong mempersiapkan pameran. Mulai dari dekorasi, susunan acara, hingga rangkaian hiburan yang disajikan.
Saat pameran karya, orang tua diundang. Datang ke sekolah. Melihat proyek yang dilakukan oleh semua peserta didik.
Semua rangkaian acara P5 ini tanpa biaya. Tidak ada biaya yang perlu dikeluarkan oleh orang tua. Kecuali, bahan-bahan proyek, ya. Seperti bahan proyek makanan sehat yang dilakukan oleh si bungsu.
Dam pelaksanaan proyek ini, orang tua terlibat sebagai fasilitator. Misalnya, saat si bungsu memerlukan sumber informasi mendalam soal pubertas, saya menghubungkannya dengan seorang teman yang aktif dalam bidang kesehatan reproduksi.
Atau saat si bungsu harus memasak agar-agar di atas kompor, ayahnya mendampingi dan mengawasi.
Sudah itu saja peran orang tua. Proyek murni hasil karya anak. Bukan orang tua. Ini menjadi mudah, karena pihak sekolah membuat proyek yang disesuaikan dengan tahap perkembangan anak. Proyek yang masih sesuai dengan kemampuan peserta didik. Tak muluk-muluk.
Penutup
P5 bukanlah hal yang sulit dan mustahil. Melalui pemahaman yang efektif, penerapan P5 itu mudah. Sesuaikan dengan sumber daya yang ada dan kemampuan anak.
Pelibatan orang tua diperlukan, namun tetap dalam porsi terbatas. Tetap anak yang harus mengerjakan proyeknya secara mandiri.
Pelaksanaan pameran karya juga cukup dilakukan dengan sesederhana. Di sekolah saja. Tak perlu heboh dan mewah.
Baca Juga : Kurikulum Merdeka, Belajar Jadi Menyenangkan dan Bermakna
P5 itu sederhana, yang rumit itu kamu 😆.
Nah, itu tadi cerita pengalaman P5 di sekolah anak-anak. Bagaimana dengan pengalaman teman deestories terkait P5 ini?
Share di kolom komentar, dong!
Terima kasih.
Apapun programnya asal tidak memberatkan siswa patut kita dukung. Apalagi tujuannya untuk memajukan cara berpikir siswa agar jauh lebih maju dan kritis. Yang penting tetap mengedepankan adab. We know, anak2 skrg duuh adabnya sangat kurang ...
BalasHapusHarus seimbang antara ilmu dan adab
Artikel yang sangat informatif dan membuka wawasan, Mbak Dee!
BalasHapusP5 dalam Kurikulum Merdeka benar-benar menunjukkan bagaimana pendidikan bisa lebih fleksibel dan relevan bagi siswa di era sekarang. Sangat mengapresiasi bagaimana konsep ini tidak hanya fokus pada teori, tetapi juga mendorong siswa untuk mengembangkan keterampilan hidup dan karakter.
Dengan adanya P5, semoga semakin banyak anak-anak yang belajar untuk berpikir kritis, kreatif, dan peduli terhadap lingkungannya.
Setuju banget, kalau P5 sebenarnya gk serumit dengan biaya tinggi yang kadang pun dilimpahkan ke siswanya. Aku rasa ini kembali ke kebijakan sekolahnya masing2 siih..
BalasHapusPendidikan adab, perilaku, dan yang menghubungkan dengan etika memang tak berwujud program ya Mbak Di. Semua dilakukan sebagai bagian penting dari mata pelajaran umum dan menjadi konsep kesatuan yang tak terpisahkan. Selama ini, kita, lebih memahami sekolah dalam skala angka saja jadi tidak terbiasa dengan P5. Tapi mudah2an kedepannya, semakin banyak orang tua yang paham dengan pendidikan etika dan budaya perilaku.
BalasHapusSebagai guru, kemaren baru saja di sekolah saya melaksanakan kegiatan P5 tentang suara demokrasi dan kearifan lokal. Siswa2 antusias, dan memang mereka jadi lebih kreatif, bisa berkolaborasi, dan bisa menghandle sebuah event. memang kegiatan P5 ini cukup mudah, asalkan ada kerjasama semua pihak.
BalasHapusPerlunya paham dulu ya konsep P5 ini seperti apa. Sehingga tak ada pengabaian yang terjadi entah itu siswa atau guru
BalasHapusAwal baca tulisan, kepala langsung nyut-nyutan
BalasHapusUntunglah dijelasin Mbak Dian, saya jadi paham
Sebetulnya kurikulum ini bagus ya?
Hanya kita belum terbiasa, jadi serasa susah
Yup, sebenarnya P5 itu tujuannya untuk mengasah soft skill anak-anak. Namun dalam penerapannya, masih banyak guru/sekolah yang masih memiliki pemahaman berbeda, sehingga yang dituntut adalah produk jadinya
BalasHapusBarusan kakak telpon dari pesantren dan katanya pekan depan mau P5 ini.
BalasHapusBelum dijelaskan sama kakak secara mendetil dia kepikiran bikin apa. Tapi kabarnya, project P5 hanya 1 kali dalam 1 semester.
Lumayan juga yaa.. mengasah anak-anak untuk bisa mengumpulkan informasi secara runut.
Saya udah gak terlalu mengikuti kurikulum sekolah sejak anak-anak udah pada kuliah. Tetapi, menurut pengalaman saya, sebetulnya semua kurikulum pun bagus. P5 ini juga kelihatan sangat menarik. Hanya memang biasanya masa adaptasi yang menjadi tantangan. Entah sekolah (guru) kurang bisa mensosialisasikannya atau para orangtua yang udah merasa ribet duluan. Akhirnya kerap menimbulkan polemik
BalasHapusProfil Pelajar Pancasila wajib tercermin dalam kehidupan sehari-hari banyak yang barhasil tapi gak bisa tutup mata juga banyak sikap pelajar jaman sekarang yang jauh dari Pancasilais..
BalasHapusDari sikap dari bahasa apalagi pengetahuan
P5 bertujuan untuk membentuk karakter dan keterampilan sosial-emosional siswa, sehingga penilaiannya lebih ke arah observasi proses, keterlibatan, dan pengembangan karakter, bukan nilai akademis. menurutku ini yang harus digarisbawahi untuk disampaikan kepada para orang tua sehingga tidak salah sangka terhadap P5 karena pendidikan sekarang perlu banget ga sih untuk pembentukan karakter semangat buat para pendidik!!!
BalasHapussaya kok fokus pada desain grafisnya ya, keren banget. Bikin pake apa mba
BalasHapus