Dee Stories

Kumpulan artikel parenting yang ditulis oleh blogger parenting Indonesia.
Suka travelling & kuliner. Konselor ASI &MPASI.

Bertahan dalam Pernikahan yang Tidak Bahagia, Sebuah Dilema Mencari Jalan Keluar

Bertahan dalam pernikahan yang tidak bahagia


Pernikahan adalah komitmen hidup bersama pasangan seumur hidup. Tentu saja, jalannya tidak selalu mulus. Akan ada berbagai cobaan datang menerpa. Selama semua cobaan bisa dihadapi bersama, tidak akan ada masalah. Namun, apabila salah satu merasa sendirian dan tersiksa, ini menjadi alarm bahaya sebuah hubungan. Nyatanya banyak orang terjebak dalam pernikahan yang tidak bahagia. Bersama tapi nestapa, sendiri tak bisa lari. 



Ketika Pernikahan Tidak Bahagia


Namanya kehidupan, tentu ada pasang surutnya. Begitu juga dengan pernikahan. Tak selalu ada tawa bahagia, kadang duka datang menghampiri. 


Beberapa orang bahkan merasakan pernikahan layaknya penjara. Tak ada rasa kasih sayang antara suami dan istri, yang ada hanyalah menjalankan kewajiban. Bahkan, anak-anak dijadikan alasan untuk bertahan. 


Hmm, tentu hal ini sangat disayangkan ya. Sejatinya, pernikahan adalah hubungan antara pasangan, kebahagiaan pasangan adalah prioritas bersama. Anak adalah soal lain. 


Ada banyak faktor mengapa pernikahan menjadi tidak bahagia. Sebuah survei dari Real Fix melaporkan bahwa, alasan utama mengapa pernikahan tidak bahagia. Jawaban nomor satu untuk pertanyaan itu adalah tidak ada cinta lagi (51 persen), masalah hubungan intim (45 persen), tidak ada lagi kegembiraan, terlalu banyak bertengkar, dan tidak menghabiskan cukup waktu bersama. Alasan lainnya termasuk terlalu banyak kekhawatiran akan uang, perbedaan hobi dan minat, kurangnya komunikasi, pasangan malas, dan keegoisan.


Tentu saja, selama semua alasan itu bisa dipecahkan bersama, persoalan akan selesai. Pernikahan akan kembali seperti di awal, menggelora dan penuh cinta. 


Alasan Bertahan dalam Pernikahan yang Tidak Bahagia


Dua belas tahun menjalani pernikahan, tentu saja banyak cobaan yang saya hadapi. Kalau diingat-ingat, masalah-masalah itu datang di tahun-tahun pertama. Saat saya dan suami baru menyesuaikan diri dengan peran baru. Saat keuangan keluarga masih di titik nol. 


Perlahan, semuanya berubah. Kami bisa menyelesaikan masalah. Tak ada pertengkaran. Membaik seiring kondisi ekonomi keluarga. 


Lalu, apakah tidak ada masalah? Tentu tetap ada. Namun, kami bisa menyelesaikannya bersama. 


Nah, jika ada masalah dan hanya satu yang berjuang sendirian, ini jadi masalah baru. Saat suami istri tidak bisa bersama menghadapi semua badai yang datang bahkan saling meninggalkan, saat itulah pernikahan sudah menjadi racun. Berubah menjadi toxic relationship. 


Celakanya, banyak orang yang rela berada dalam situasi seperti ini. Rela bertahan dalam pernikahan yang tidak bahagia, dengan beberapa alasan, seperti:


Takut akan perubahan


Saat pernikahan tidak bahagia, banyak orang memilih bertahan daripada bercerai. Salah satu alasannya adalah ketakutan akan perubahan. 


Baca Juga : Sendirian dalam Pernikahan, Jangan ya dek! Jangan!


Perceraian tentu saja tidak sekadar mengubah status, akan ada banyak hal lain yang berubah. Mulai dari tempat tinggal, kondisi keuangan, hingga pandangan masyarakat. 


Perubahan-perubahan ini yang membuat banyak orang takut. Mereka memilih berdiam dalam pernikahan yang tidak bahagia. 


Stigma masyarakat


Ada juga yang tidak sanggup dengan stigma masyarakat, sehingga memilih bertahan dalam pernikahan yang tidak bahagia. Masyarakat masih saja menganggap bahwa kegagalan pernikahan adalah sebuah aib. 


Baca Juga : Cegah KDRT, Kenali Tanda Red Flag Ini!


Padahal, belum tentu demikian. Jika pasangan selingkuh dan melakukan KDRT, tentu saja bercerai lebih terhormat dibandingkan menjalankan pernikahan beracun seperti itu. 


Tidak berdaya


Merasa tidak berdaya menjadi alasan bertahan dalam pernikahan yang tidak bahagia. Tidak memiliki penghasilan sendiri atau tidak ada tempat untuk pergi, adalah contoh ketidakberdayaan. 


Merasa tidak punya kekuatan untuk pergi. Tidak bisa mengubah keadaannya. Pilihannya, bertahan meski sengsara. 


Demi anak


Anak, adalah alasan terkuat untuk terus bertahan dalam pernikahan yang tidak bahagia. Takut akan masa depan anak. Kasihan jika anak tidak memiliki keluarga yang utuh. 


Padahal, anak-anak akan lebih terdampak saat mereka broken heart, bukan broken home. Perceraian mungkin membuat anak-anak bersedih, tapi seiring berjalannya waktu, mereka akan bisa melupakan. 


Tapi, jika anak terus melihat orang tua tidak akur dan tidak saling menyayangi lagi, ini akan jadi patah hati terbesarnya. Seumur hidup mereka tumbuh dalam kepalsuan pernikahan orang tuanya. Traumanya justru lebih mendalam. 


Berharap akan ada perubahan


Terakhir, alasan mengapa banyak orang bertahan dalam pernikahan yang tidak bahagia adalah harapan. Mereka berharap akan ada perubahan. Pasangan berubah, pernikahan bisa berubah menjadi baik kembali. 


Tidak ada yang salah dengan harapan ini. Selama, ada usaha untuk mewujudkannya. Kalau sekadar berharap, tentu saja kemungkinan terjadinya akan kecil. 


Dampak Bertahan dalam Pernikahan yang Tidak Bahagia


Bertahan dalam pernikahan yang tidak bahagia


Jangan mau terus-terusan bertahan dalam pernikahan yang tidak bahagia. Rugi! Ada banyak dampaknya, seperti:


Mengancam kesehatan mental


Pernikahan yang tidak bahagia akan mengancam kesehatan mental. Stres, depresi, dan kecemasan yang berkepanjangan umumnya diderita oleh orang yang bertahan dalam pernikahan yang tidak bahagia. Tentu saja hal ini dapat berdampak buruk pada kesehatan mental.


Mengganggu kesehatan fisik


Tak hanya mengancam kesehatan mental, bertahan dalam pernikahan yang tidak bahagia bisa mengganggu kesehatan fisik. 


Masalah kesehatan fisik seperti gangguan tidur, sakit kepala, dan masalah pencernaan seringkali terkait dengan stres dalam pernikahan yang tidak bahagia. 


Hubungan dengan anak


Kalau ada yang menjadikan anak sebagai alasan bertahan, itu egois. Nyatanya, anak-anak yang hidup dalam pernikahan yang tidak bahagia ikut tegang. Mereka merasakan ketegangan dalam rumah tangga dan mengalami dampak psikologis yang negatif.


Kualitas hidup menurun


Ketidakbahagiaan dalam pernikahan dapat memengaruhi kualitas hidup secara keseluruhan. Pernikahan yang tidak bahagia akan membuat kualitas hidup menurun.


Kapan Harus Bertahan dan Kapan Harus Berhenti?


Keputusan untuk bertahan atau mengakhiri pernikahan adalah sangat pribadi dan tidak ada jawaban yang benar atau salah. 


Bertahan atau berhenti tentu tidak semudah membalikkan telapak tangan. Beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan adalah:


Tingkat keparahan masalah


Apakah masalah dalam pernikahan dapat diselesaikan melalui konseling atau terapi?


Komitmen kedua belah pihak


Apakah kedua pasangan berkomitmen untuk memperbaiki hubungan?


Dampak pada anak-anak


Apakah perpisahan akan memberikan dampak yang lebih buruk pada anak-anak dibandingkan dengan bertahan dalam pernikahan yang tidak bahagia?


Kesehatan mental dan fisik


Apakah pernikahan yang tidak bahagia mengancam kesehatan fisik dan mental? 


Baca Juga : Menikah Adalah Cara untuk Kehilangan Diri Sendiri? Jangan ya Dek!


Jika jawabannya adalah masalahnya parah, tidak ada komitmen dari kedua belah pihak, berdampak buruk pada anak-anak, serta mengancam kesehatan mental dan fisik, maka berhenti adalah keputusan terbaik. Berhenti bertahan dalam pernikahan yang tidak bahagia. Carilah jalan keluar! 


Pernikahan Tidak Bahagia, Adakah Jalan Keluar? 


Bertahan dalam pernikahan yang tidak bahagia



Beberapa langkah dibawah ini bisa menjadi jalan keluar dari pernikahan yang tidak bahagia. 


Komunikasi terbuka


Cobalah berkomunikasi secara terbuka dengan pasangan. Apa yang dirasakan dan harapan akan pernikahan yang dijalani. Komunikasi terbuka seperti ini membantu untuk mengetahui masalah yang ada sekaligus solusinya. 


Konseling


Bila komunikasi terbuka masih belum ada hasilnya, tak ada salahnya mencoba melakukan konseling pernikahan. Konseling pernikahan dapat membantu untuk memahami akar masalah dan menemukan solusi.


Jaga diri sendiri


Prioritaskan kesehatan fisik dan mental diri sendiri dengan melakukan aktivitas yang dinikmati. 


Cari dukungan


Berbicaralah dengan teman, keluarga, atau seorang terapis untuk mendapatkan dukungan emosional.


Penutup


Memutuskan untuk bertahan atau mengakhiri pernikahan adalah keputusan yang sulit. Penting untuk mempertimbangkan semua faktor dengan hati-hati dan mencari dukungan dari orang-orang terdekat. Ingatlah bahwa diri berhak untuk bahagia dan memiliki hubungan yang sehat.

13 komentar

  1. Bicara soal pernikahan atau hubungan memang komplek karena buatku semua memiliki alasannya, tulisan ini sangat detail dan jelas memberikan informasi bagaimana dan seperti apa langkah yang perlu diambil disetiap keputusan.

    Buatku apapun langkah yang diambil upayakan sebaik2nya untuk kebaikan banyak pihak.

    BalasHapus
  2. Walau keputusan ada di tangan diri sendiri, tetap sebaiknya mendapatkan dukungan dari orang-orang terdekat. Jadi jangan sendirian ketika proses perpisahan terjadi dan juga setelah perpisahan akhirnya dijalani. Itu pendapat saya pribadi sih.

    BalasHapus
  3. Yes, orang lebih respect ke widow daripada divorcee padahal divorce diperbolehkan asal alasannya kuat (misalnya pasangan KDRT, zolim, tidak menafkahi, g4y, juD0L, dll). Lebih baik menyelamatkan mental karena anak-anak butuh ibu yg bahagia.

    BalasHapus
  4. Banyak sekali yang mengaku bertahan di pernikahan yang tidak bahagia demi anak. Padahal, kalau saja mereka menyadari kalau beban anak akan semakin besar saat menjadi alasan ketidakbahagiaan orang tuanya. Mungkin mereka tidak akan berani beralasan begitu.

    BalasHapus
  5. Aku juga pake logika kalo soal begini. Drpd tetep menderita hanya gara2 malu dpt status janda, aku LBH milih divorce sih. Biar pikiran ga stress. Kita juga berhak kok bahagia. Ga peduli ada anak atau ga, aku pasti milih cerai kalo suami toxic begitu.

    Sbnrnya sih kesalahan suami bisa aku maafin kecuali utk 2 hal aja. Selingkuh dan kekerasan. 2 ini Mon maaf, siap2 ucapin selamat tinggal ajalah. Ga akan bisa sembuh biasanya.

    BalasHapus
  6. Stigma masyarakat memang masih menjadi pertimbangan yang kuat untuk mempertahankan pernikahan yang sebetulnya jika dikulik pernikahan sudah tidak sehat, tidak bahagia dan hilang kedamaian.

    Perlahan bisa berakibat fatal dan bahaya ya mba. Mesti berani ambil keputusan atau minimal lakukan konseling kepada profesional, mana tahu ada solusi yang lebih baik.
    Makasih sudah menulis artikel yang sangat jelas, detail.

    BalasHapus
  7. komunikasi perlu banget dan penting, kalau nggak ada komunikasi gimana kita mau menyelesaikan masalah. Dan kalau ada masalah, ada baiknya diselesaikan dengan kepala dingin.
    berada di dalam hubungan yang toxic otomatis bikin hidup kita ga sehat, aku kalau liat berita yang mana istrinya disiksa, dihajar habis-habisan, tapi si anak ga berani melapor ke keluarganya sendiri, sedihh.

    BalasHapus
  8. Dulu saya termasuk orang yang tidak mendukung perceraian, tetapi setelah bertahun-tahun melihat berbagai kasus di sekeliling, Saya tidak lagi mendukung pernikahan yang toxic. Karena membuat semua orang menderita.kalau sekiranya tidak dapat diselamatkan, selamatkan diri masing-masing sebelum rusak semua

    BalasHapus
  9. Pernikahan yang tidak bahagia itu memang beneran toxic, tapi memang kita butuh support sistem untuk melaluinya. Ada yang pada akhirnya memilih untuk berpisah ataupun bertahan. Yang terpenting untuk kedua belah pihak, pada akhirnya harus benar-benar bahagia dan sudah memikirkan baik dan buruknya kembali.

    BalasHapus
  10. Ujian berat sekali kalau menerpa rumahtangga.
    Karena pertimbangannya pasti dari a sampai Z.
    Apalagi Allah tidak suka hamba yang bercerai.
    Semoga dijauhkan dari gangguan syeitan pemutus hubungan perjanjian Mitsaqan Ghalidza yang agung.

    BalasHapus
  11. saat sudah memasuki kehidupan pernikahan memang kompleksi, perlu berpikir dengan jernih dalam pengambilan keputusan dan kesiapan yang besar, tak heran jika banyak cerita yang meski badainya bertahun-tahun, namun masih dalam rumah tangga yang sama. konsultasi atau mediasi juga dapat menjadi opsi, keduanya sama-sama melelahkan, namun setidaknya jadi punya pilihan akan keputusan apa yang akan diambil.

    BalasHapus
  12. Bertahan dalam pernikahan karena tidk bahagia menurutku adalah hal yg cukup sulit dan pasti menyakitkan. Namun, perlu diperhatikan apa saja penyebab ketidakbahagiaan itu, karena bisa jadi ketidakbahagiaan itu tak ada hubungannya dengan pasangan atau hal lain. Bisa jadi, bahagia bisa diciptakan sendiri tanpa mengganggu stabilitas rumah tangga.

    BalasHapus
  13. Akhir2 ini byk banget kasus perceraian dri sgala kalangan. Bener2 miris dan jadi bahan evaluasi diri. Memang pernikahan tuh ibadah terberat dan terpanjang, pastinya ujian dan cobaannya ga main2. Emang komunikasi itu kunci utama, plus saling percaya dan bisa amanah dgn kepercayaan yg diberikan yaa. Smoga keluarga kita semua diberi perlindungan hingga bsa till jannah bersama pasangan.

    BalasHapus