Siapa yang tak ingin punya rumah tangga bahagia? Tentu semua ingin. Bagaimana jika rumah tangga yang dijalani malah bagai neraka? Ada dua pilihannya, bertahan atau tinggalkan. Tapi, siapa sih yang mau bertahan dalam neraka? Begitu juga dalam pernikahan, siapa yang mau bertahan dalam pernikahan yang tidak bahagia? Banyak! Dan mostly perempuan memilih bertahan. Perempuan enggan bercerai meski rumah tangga tidak bahagia.
Pernikahan Toxic
Setiap pernikahan tentu saja tidak berjalan mulus. Akan ada banyak cobaan yang datang. Cobaan itu bisa membuat dua pasangan semakin kuat atau justru sebaliknya, makin lemah hingga bubar jalan.
Pernikahan saya juga pasti penuh drama. Beragam masalah muncul. Mulai dari orang ketiga, masalah keuangan, hingga keterbatasan ekonomi. Tapi, alhamdulillah saya dan suami berhasil melewatinya.
Permasalahan yang datang menjadikan kami untuk belajar lebih baik lagi. Sama-sama berusaha untuk melakukan yang terbaik, agar biduk rumah tangga ini bisa diselamatkan.
Sama-sama! Itu kuncinya! Jika setiap masalah dalam pernikahan dihadapi bersama, maka masalah itu akan selesai dan bisa menjadi penguat ikatan. Sebaliknya, jika hanya ada salah satu pihak yang berjuang, nah ini jadi masalah baru.
Jika hanya satu pihak yang berusaha menyelesaikan masalah dan mempertahankan pernikahan, tetapi satu pihak lainnya acuh tak acuh, malapetaka baru terjadi.
Saya banyak melihat pernikahan toxic disekitar. Mulai dari suami selingkuh, tukang pukul, mertua ikut campur, hingga suami yang tidak bisa menjadi kepala keluarga yang baik.
Beberapa teman selamat. Mereka bisa lepas dari pernikahan toxic tersebut. Hidup bahagia dengan keputusan berpisah. Bahkan beberapa diantaranya sudah menemukan pasangan baru dan melakukan pernikahan kedua.
Tapi, masih ada juga yang bertahan. Pura-pura bahagia meski sebenarnya hancur lebur sendirian. Mati-matian mempertahankan pernikahan toxic. Miris.
Alasan Tidak Mau Bercerai
Memang, perceraian itu hal yang dibolehkan dalam agama, meski dibenci Tuhan. Tapi, apakah layak sebuah pernikahan itu dipertahankan jika tak ada kebahagiaan di dalamnya?
Memang, tujuan pernikahan bukan hanya bahagia. Melainkan sebagai ibadah terpanjang. Tapi jangan lupa, pernikahan itu ibadah untuk dua belah pihak. Kalau hanya satu saja yang mau beribadah, sementara yang lainnya cuek, buat apa?
Apakah lebih bagus jika babak belur dalam pernikahan toxic hanya untuk menghindari perceraian?
Ingat, ada banyak kasus nyawa hilang hanya karena bertahan dengan suami yang kerap melakukan KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga).
Atau ada juga yang akhirnya terkena penyakit HIV/AIDS karena bertahan dengan suami tukang selingkuh?
Lalu, kalau sudah begitu siapa yang rugi? Perempuan! Tentu saja yang rugi perempuan. Sudah tak mendapatkan kebahagiaan, eh kena penyakit atau bahkan meregang nyawa. Duh, ibarat pepatah itu sudah jatuh tertimpa tangga. Double sakitnya.
Apa yang membuat perempuan bertahan meski pernikahannya tidak bahagia?
Ekonomi
Ekonomi seringkali jadi alasan membuat perempuan bertahan. Jika bercerai, takut anak-anak semakin terlantar karena tak ada yang menafkahi.
Hmm, padahal semua makhluk sudah dijamin rezekinya di bumi ini. Terlebih lagi, secara hukum anak akan tetap dapat nafkah dari ayahnya walau telah terjadi perceraian.
Rata-rata perempuan yang mapan secara ekonomi tak ragu melakukan gugatan perceraian. Tapi, ada juga perempuan yang tidak mandiri secara ekonomi tetap nekat bercerai.
Baca Juga : Dua Kesalahan Fatal dalam Pernikahan yang Tak Bisa Dimaafkan
Setelah bercerai, dia mampu bekerja dan menafkahi dirinya. Yakinlah, Tuhan tidak tidur. Tuhan pasti membantu hamba-Nya yang berusaha.
Saya pernah punya teman yang tak ragu menuntut cerai suaminya yang ketahuan menikah lagi. Dia begitu berani ke pengadilan agama, meski baru saja melahirkan anak kedua. Saat itu tak punya pekerjaan. Namun, nekat bercerai. Setelah itu dia pun bekerja sebagai tenaga marketing. See? Jangan khawatir tak bisa makan karena bercerai.
Anak
Anak seringkali menjadi alasan kuat untuk bertahan. Tak tega anaknya menjadi korban broken home, maka ibunya akan mati-matian bertahan. Bertahan dalam pernikahan yang tidak bahagia. Mati-matian berjuang sendiri.
Tak selalu anak broken home itu buruk. Banyak juga anak-anak korban perceraian yang sukses dalam hidupnya.
Anak akan tentu bisa tumbuh sehat fisik dan mental jika dia diasuh oleh orang tua yang bahagia. Bagaimana ibunya bisa menjalankan peran pengasuhan kalau batinnya tersiksa?
Kalau ayahnya tukang pukul dan tukang selingkuh, apakah dia bisa menjalankan peran pengasuhan dengan baik?
Pengasuhan urusan bersama. Kalau ayah dan ibu tidak bisa melakukan tugasnya dengan baik, anak pun sudah menjadi anak broken home meski orang tua terikat pernikahan.
Jangan jadikan anak sebagai alasan untuk bertahan dalam pernikahan toxic. Anak-anak yang hidup dalam pernikahan toxic, juga akan terganggu kesehatan mentalnya.
Takut hidup sendiri
Ada juga yang takut hidup sendiri setelah bercerai. Harus keluar dari rumah, meninggalkan suami dan anak-anak. Tetapi tak ada tempat tujuan. Tak bisa pulang ke rumah orang tua.
Daripada hidup sendiri, lebih baik bertahan dalam pernikahan toxic. Ini bukan solusi sebenarnya. Apa yang salah dengan hidup sendiri? Hidup sendiri tapi bahagia tentu lebih baik daripada bertahan dalam pernikahan toxic.
Ingat, saat mati nanti kita juga sendiri. Apa yang ditakuti dari hidup sendiri. Selama kita mampu memenuhi semua kebutuhan hidup sendiri. Membahagiakan diri sendiri.
Tidak ada pria lain yang menerima
Bercerai bukan berarti mengharapkan ada pria lain yang mau menerima. Tolong jangan pernah ada pemikiran seperti untuk menjadi alasan takut bercerai.
Bercerai dari pernikahan toxic akan membawa kita pada kesempatan baru. Kesempatan untuk hidup lebih bahagia. Bukan berarti harus mencari suami baru.
Saya punya seorang teman, hidupnya semakin naik kelas setelah bercerai.
Dia memutuskan bercerai saat tahu suaminya selingkuh dengan janda 4 orang anak. Padahal, saat itu teman saya seorang ibu rumah tangga. Namun, dia tak ragu untuk bercerai.
Setelah perceraian beres, dia mendapatkan tawaran pekerjaan. Tak lama kemudian, dia pun mendapatkan beasiswa penuh untuk melanjutkan studi S2. Hidupnya semakin bahagia setelah bercerai.
Dia mampu berdiri diatas kakinya sendiri. Tanpa harus mencari sokongan dari pria lain setelah perceraian.
Melepaskan diri dari hal-hal negatif seperti pernikahan toxic, akan memberikan kesempatan semesta untuk mendatangkan hal-hal baik.
Trust me.
Cinta
Cinta, semua logika akan runtuh kalau cinta jadi alasan takut bercerai. Sekalipun seorang alpha female, akan takut bercerai kalau masih cinta.
Cinta bisa menjadi candu. Apalagi jika tak mempertimbangkan logika. Bagaimana masih bisa cinta dengan orang yang suka selingkuh atau main tangan? Apakah perlu orang yang mengabaikan secara ekonomi melepaskan tanggung jawab masih dicintai? Harusnya tidak.
Baca Juga : Tak Hanya Selingkuh, 5 Hal Sepele Ini Juga Bisa Merusak Rumah Tangga
Tapi, namanya cinta memang tak bisa ditebak. Banyak juga yang bertahan dalam pernikahan toxic hanya karena rasa cinta yang besar pada pasangannya. Rasa cinta yang membutakan bahkan bisa membodohkan.
Penutup
Tidak ada rumah tangga yang selalu baik-baik saja. Setiap pernikahan ada cobaannya. Namun, hal yang perlu digaris bawahi adalah cobaan pernikahan harus dihadapi berdua.
Baca Juga : Suami KDRT, Istri Harus Bertahan atau Melawan?
Saat ada masalah, dua belah pihak saling berusaha menyelesaikan. Berusaha selalu menjadi yang terbaik. Bukan salah satu pihak saja.
Kalau kamu sendirian mati-matian mempertahankan pernikahanmu, itu sudah toxic. Seharusnya hal-hal toxic itu dihindari dan dihilangkan. Bukan malah dipertahankan.
Jangan takut bercerai, jika memang itu jalan yang terbaik.
Kalau pria udh cheating, rabi meneh, atau KDRT sih mending run jauh2 yaa. Jangan mau bertahan dengan alasan anak atau yg lain. Karena sebenernya anak tuh ngerti situasi di rumah meski tidak diberitahu.
BalasHapus