“Aku sedih ngeliat rumah uda kayak kapal pecah. Jangankan buat beberes, buat makan dan mandi aja aku nggak ada waktu. Si bayi nggak bisa ditinggal”.
“Aku lagi di tempat les anak, nih. Istirahat bentar. Nanti pulang lanjut bikin makan malam dan beberes rumah. “
“Huhu, aku nggak bisa ngapa-ngapain seharian ini. Anakku demam. Ini harus ditemenin. Skin to skin. Doakan cepat sehat, ya!”
“Aku flu berat. Saat anak-anak berangkat sekolah, aku tidur. Udah, nggak peduli dengan rumah yang berantakan. Cucian piring menumpuk. Plus deadline artikel. Aku harus tidur. “
Deretan curhatan di WAG (WhatsApp Group) kesayangan pagi ini. Hmm tampaknya hari jadi hari sambat sedunia. Bagaimana tidak, beberapa anggota WAG sedang berkeluh kesah. Masalahnya sama : pekerjaan rumah yang tak ada habisnya.
Melakukan pekerjaan rumah itu jauh lebih melelahkan dibanding kerja kantoran. Itu menurut pengalaman pribadi saya, ya!
Dulu, sebelum menikah saya bahkan bekerja selama 7 hari seminggu. Bekerja di dua perusahaan. Lima hari saya mengajar, dua hari bekerja di kantor konsultan. Semua demi bertahan hidup di ibukota.
Apa nggak capek? Ya capek, tapi kan saat pulang ke kos bisa langsung tidur. Makan cukup beli lauk di warteg. Beres urusan.
Sekarang? Kegiatan saya sehari-hari adalah mengurus rumah. Saya masih kerja sih. Mengajar di bimbel dua kali seminggu dan menjadi blogger. Tapi, waktu saya lebih tersita untuk mengurus rumah dan anak.
Setiap hari, saya selalu bangun pukul 4 pagi. Bangun tidur langsung ke dapur dan membereskan rumah. Nanti, saat anak sekolah baru saya bisa membuka laptop dan duduk di meja kerja. Dengan catatan semua pekerjaan rumah sudah selesai.
Kadang, saya bahkan nggak bisa buka laptop sama sekali. Seolah pekerjaan rumah itu nggak ada habisnya. Semua waktu dan tenaga saya tersita disitu. Kalau terus-terusan seperti ini, biasanya saya langsung tantrum.
Saya jadi mudah emosi. Hal sepele pun bisa bikin saya meledak-ledak. Ibaratnya, “senggol bacok”. Kalau sudah begitu, anak-anak jadi korban. Sedih.
Tentunya saya nggak mau dong uring-uringan terus. Saya pun mulai cari cara, bagaimana pekerjaan rumah bisa selesai dan saya juga punya waktu untuk melakukan hal lain.
Maka, hal yang saya lakukan adalah :
Turunkan ekspektasi
Jujur, saya sendiri nggak terlalu suka melakukan pekerjaan rumah. Maka, ekspektasi saya pun nggak tinggi-tinggi amat. Nggak perlu lah ya rumah yang selalu kinclong, yang penting bersih.
Kalau sedikit berantakan, tak apa. Toh ada anak-anak yang emang lagi fase eksplorasi. Mainan dan buku sering berceceran, it's okay.
Menurunkan ekspektasi seperti ini membuat saya lebih slow. Saya nggak akan mudah emosi saat melihat rumah berantakan.
Berbagi peran
Rumah tanggung jawab bersama. Tak hanya saya yang tinggal di rumah ini. Jadi, sudah selayaknya anak-anak dan suami berpartisipasi. Berbagi peran melakukan pekerjaan rumah.
Saya bagian beberes di pagi hari, suami beberes di malam hari. Anak-anak bertanggung-jawab membersihkan kamar dan ruangan belajar. Pun, harus membereskan mainannya sendiri. Mereka juga bisa membantu menyiapkan snack sore atau sarapan saat weekend.
Baca Juga : Philips Smart LED Connected by WiZ, Bikin Kamar Anak Jadi Nyaman
Dengan berbagi peran seperti ini, tentu semua pekerjaan rumah jadi lebih cepat selesai. Saya tak harus kelelahan karena mengerjakannya seorang diri.
Didelegasikan yang bisa didelegasikan
Ingat, kita bukan superwoman. Nggak perlu juga mengerjakan semuanya sendiri. Bila perlu minta bantuan pihak lain. Misalnya, sejak menikah saya tak pernah menyetrika baju sendiri, selalu menggunakan jasa laundry. Bahkan, meski di rumah ada mesin cuci, kalau saya capek ya nyuci juga ke laundry.
Kalau malas masak, ya beli saja lauk matang di warung. Atau menggunakan jasa catering harian. Alhamdulillah suami nggak rewel. Buat dia, yang paling penting urusan anak nggak didelegasikan.
Mencari support system
Tak hanya suami dan anak saja, punya teman baik yang selalu bisa mendengar semua keluhan kita, itu penting. Teman-teman yang mau mendengarkan keluh kesah tanpa menghakimi, memberikan saran tanpa menggurui, itu harta yang berharga. Setiap ibu butuh support system seperti itu.
Baca Juga : Pentingnya Support System untuk Blogger
Alhamdulillah, saya punya. Ada WAG kesayangan yang jadi tempat keluh kesah. Teman-teman yang tetap mendengarkan meskipun kadang sama-sama kewalahan menjalankan peran masing-masing.
Dengan begitu, kita nggak merasa sendirian. Stress yang dialami bisa tersalurkan dengan baik.
Baca Juga : Menikahlah dengan Orang yang Tepat. Seumur Hidup Terlalu Lama untuk Dihabiskan dengan Orang yang Salah
Itu tadi yang saya lakukan untuk tetap waras menjalani peran sebagai ibu rumah tangga. Pekerjaan rumah memang nggak ada habisnya. Namun, pastikan kita selalu cari cara agar bisa mengerjakannya tanpa merenggut kewarasan diri.
Bagaimana dengan teman-teman? Adakah tips lain untuk bisa mengatasi rasa lelah dan stress karena pekerjaan rumah ini?
Boleh dong berbagi cerita di kolom komentar.
Terima kasih.
Suka banget dengan tulisannya, serta cukup setuju dengan pendapat menurunkan ekspektasi dan berbagi peran. Di rumah saya, ada kesepakatan untuk menyisihkan satu hari khusus untuk membersihkan rumah secara menyeluruh atau menghabiskan waktu bersama sekeluarga secara khusus.
BalasHapus