Beberapa
waktu lalu, masyarakat dihebohkan dengan pernyataan YouTubers terkenal, Gita
Savitri. Gitasav, begitu panggilan akrabnya, secara tegas menyatakan bahwa dia
dan suaminya memilih untuk childfree. Belum reda kontroversi ini, artis papan
atas, Cinta Laura pun memiliki pandangan yang sama. Sebenarnya apa itu
childfree? Dan bagaimana perspektif sosiologi memandang childfree ini?
Apa itu Childfree?
Childfree
adalah sebuah istilah yang merujuk pada orang atau pasangan yang memilih untuk
tidak memiliki anak. Childfree berbeda dengan Childless. Childless lebih ke
dalam kondisi dimana seseorang tanpa anak yang disebabkan karena keadaan.
Mudahnya,
childfree merupakan pilihan yang dilakukan oleh seseorang atau pasangan,
sedangkan childless dipengaruhi oleh faktor eksternal seperti keguguran, maupun
kondisi fisik dan biologis lainnya.
Meskipun
sebenarnya childfree ini adalah pilihan subjektif bagi setiap individu, namun
dianggap bertentangan dengan pilihan objektif masyarakat Indonesia. Disinilah mulai
muncul pro dan kotra dalam menyikapi childfree ini.
Mengapa Memilih Childfree?
Tentunya,
tidak mungkin seseorang atau pasangan memilih childfree tanpa sebuah alasan. Meski
banyak yang berpendapat bahwa childfree ini dilatarbelakangi oleh kemerdekaan
kuasa perempuan, sejatinya piliihan untuk childfree tak sesederhana itu. Ada banyak
alasan dan latar belakang mengapa keputusan childfree itu diambil.
Ambil
contoh dari kasus Gitasav, keputusannya untuk childfree didorong karena
ketidaksiapannya dalam merawat anak. Memiliki anak butuh banyak persiapan. Tak sekadar
fisik dan finansial saja, tetapi juga secara mental. Gitasav dan suaminya
merasa tidak siap mental untuk bisa merawat anak.
Lain
lagi dengan Cinta Laura, artis cantik ini lebih memilih mengadopsi anak
dibandingkan punya anak sendiri. Menurutnya, di dunia ini sudah terlalu banyak
populasi dan anak-anak yang terlantar. Jadi, lebih baik merawat anak-anak yang
terlantar dibandingkan menambah populasi dengan punya anak sendiri.
Ada
juga Veronica Wilson, salah satu perempuan yang berani speak up terkait dengan
keputusannya untuk tidak mempunyai anak. Keputusannya untuk Childfree dikarenakan
memang ia tidak ingin mempunyai anak. Bahkan pemikiran ini telah ada sejak
Veronica masih kecil. Alasan utamanya karena pengalaman hidup, dimana Veronica
memiliki pengalaman yang tidak cukup menyenangkan dengan mendiang Ibu. Perilaku
toxic yang dikhawatirkan juga akan menurun pada dirinya, atau bahkan pada
keturunan dirinya.
Ketiga
perempuan yang memilih childfree ini punya alasannya masing-masing. Dimana alasan-alasan
tersebut dipengaruhi oleh pengalaman hasil interaksi sosialnya. Secara sosiologis,
childfree ini terjadi karena pergeseran eksistensi peran perempuan di
masyarakat.
Dulu,
eksistensi perempuan itu dilihat dari seberapa banyak ia bisa menghasilkan
keturunan. Bahkan, terdapat pandangan bahwa perempuan yang sempurna adalah
perempuan yang bisa menghasilkan keturunan. Sekarang, eksistensi perempuan
tidak lagi diukur dari ranah domestik seperti memiliki keturunan, melainkan
berdasarkan sektor publik seberti karir, prestasi, dan indikator baru lainnya.
Keputusan
childfree ini juga bisa dilihat sebagai adanya kesetaraan dalam relasi antara
perempuan dan laki-laki. Egaliteran ini membuat perempuan bisa memiliki
memutuskan pilihan hidupnya, sama seperti laki-laki, termasuk dalam memiliki
keturunan. Bagi pasangan yang menikah, childfree ini tentunya hasil bergaining
antara laki-laki dan perempuan dalam kehidupan rumah tangga. Childfree adalah
keputusan bersama dalam pernikahan.
Childfree dalam Perspektif Sosiologi
Lalu,
bagaimana perspektif sosiologi menyoal childfree ini? Banyak sekali teori
sosiologi yang bisa digunakan untuk membahas ini. Namun, akan lebih banyak
dibedah dalam kajian sosiologi keluarga.
Pertama,
childfree ini menunjukkan adanya pergeseran nilai tentang anak di masyarakat. Orang-orang
yang memilih childfree ini bisa dibilang menilai anak sebagai beban, bukan
berkah. Memiliki anak itu menjadi beban tersendiri. Oleh karena itu butuh
persiapan yang matang. Baik secara fisik, finansial maupun mental. Ketika merasa
tidak siap menghadapi beban tersebut, childfree dipilih sebagai jalan keluar.
Kedua,
childfree ini pada akhirnya menunjukkan hilangnya fungsi keluarga. Sebagaimana kita
ketahui, keluarga adalah unit sosial terkecil dari suatu masyarakat. Keluarga sebagai
salah satu pranata sosial memiliki fungsinya tersendiri. Pasangan yang memilih
childfree tentu tak bisa menjalankan fungsi-fungsi keluarga. Baik fungsi
mendasar seperti reproduksi hingga fungsi-fungsi lainnya seperti sosialisasi,
proteksi, ekonomi, afeksi dan pemberi status. Tanpa anak, fungsi-fungsi
tersebut tidak bisa berjalan.
Ketiga, childfree
ini menunjukkan kesetaraan gender. Pasangan yang memilh childfree bisa
dipastikan memiliki relasi yang egaliter. Laki-laki dan perempuan memiliki
kesempatan yang sama dalam membuat keputusan, termasuk memilih untuk childfree.
Keempat, childfree
bisa dilihat dalam perspektif teori konstruksi sosial dari Peter Berger. Konstruksi
Sosial atas Realitas (Social Construction of Reality) didefinisikan sebagai
proses sosial melalui tindakan dan interaksi dimana individu atau sekelompok
individu, menciptakan secara terus-menerus suatu realitas yang dimiliki dan
dialami bersama secara subjektif.
Teori
ini berakar pada paradigma konstruktivis yang melihat realitas sosial sebagai
konstruksi sosial yang diciptakan oleh individu, yang merupakan manusia bebas. Individu
menjadi penentu dalam dunia sosial yang dikonstruksi berdasarkan kehendaknya, yang
dalam banyak hal memiliki kebebasan untuk bertindak di luar batas kontrol
struktur dan pranata sosialnya.
Meskipun
disebut sebagai konstruksi sosial, realitas sosial ini sajatinya juga
melibatkan unsur-unsur subjektif yang muncul dari pemikiran manusia, misalnya
opini, persepsi, atau ide-ide tertentu. Ada 3 tahap mengonstruksikan sebuah
realitas/kenyataan, yaitu:
1. Eksternalisasi :
Proses munculnya ide-ide
dari pemikiran manusia. Ide-ide ini kemudian eksis di kehidupan sosial.
2. Objektifikasi :
Ide-ide yang muncul dari
proses eksternalisasi kemudian dipersepsikan menjadi sebuah kenyataan. Ide-ide
tadi disepakati (konsensus), mengalami proses interaksi sosial, lalu
berlangsung secara berulang (habituasi).
3. Internalisasi :
Ide awal yang mengalami
proses objektifikasi dan dianggap sebagai kenyataan, kemudian diserap dan
dipahami oleh manusia sebagai sebuah pengetahuan. Dengan demikian, realitas
atau kenyataan yang diketahui oleh manusia sebenarnya juga muncul dari ide dan
persepsi manusia itu sendiri.
Childfree
adalah hasil konstruksi sosial yang berawal dari ide subjektif hasil interaksi
individu dengan individu lain maupun lingkungan disekitarnya. Dimana akhirnya dijadikan
sebuah konsensus, bagi pasangan yang sepakat untuk childfree. Akhirnya,
childfree menjadi sebuah realitas sosial dalam masyarakat.
Demikian pandangan sosiologi terkait fenomena childfree ini. Dibalik semua pro dan kontranya, childfree adalah sebuah realitas sosial pada masyarakat saat ini.
Mungkon fenomena ini yang sebenarnya udah terjadi di Jepang dan Korea, dimana pertumbuhan penduduk mereka mengalami angka minus. Di Indonesia mungkin baru mencuat sejak beberapa publik figur menyampaikan pernyataan lalu banyak dibahas oleh berbagai kalangan di Indonesia.
BalasHapusBagi kita sebagai negara mayoritas Islam akan menganggap aneh jika pasangan ingin childfree karena konsep anak berbeda, yaitu berkah.
Tapi, kalau saya pribadi, tidak masalah jika childfree ini diterapkan oleh orang2 indonesia, yang benar dipengaruhi oleh banyak faktor.
Childfree hak pribadi setiap manusia sih ya, dulu saya kepikiran juga duh gimana ya kalau punya anak tar kebebasan saya serasa terampas. Alhamdulillah ketika memiliki keturunan smua berubah naluri keibuan muncul pokoknya amazing deh
BalasHapusWah berasa baca jurnal ilmiah ini artikelnya hahaha. Childfree ini memang lagi happening kayaknya ya mb dibahas di beberapa perbincangan parenting.
BalasHapusSaya produk generasi terdahulu, yang kalau nikah harus punya anak. Alhamdulillah dikabulkan Allah. Waktu itu gak mikirin soal pengasuhan, soal kesiapan keuangan, dan segala macam. Emang sih punya anak banyak keperluan. Dan hampir semua penghasilan berakhir untuk kesejahteraan anak. Tapi tetap menghargai pilihan anak muda masa kini untuk chilfree. Merekan kan yang tahu tentang hidup mereka ya. Keputusan yang tentunya telah mereka pikirkan masak-masak
BalasHapusMencerahkan sekali artikel ini, membahas childfree dalam perspektif sosiologi.
BalasHapusSaya termasuk yang menghargai keputusan seseorang yang memutuskan untuk memilih childfree. Apapun itu ada hal yang jadi pertimbangannya dan itu yang harusnya kita hormati.
Bener Mba, sekarang banyak generasi yang memilih childfree, pilihan yaa.
BalasHapusapapun keputusannya, masing2 punya jalan hidup sendiri2 ya, mbak. jadi ya hargai saja segala apa yang sudah menjadi keputusan.
BalasHapusSepakat dengan kak Siti Hairul.
BalasHapusMenuliskan sesuai bidang keilmuan membuat "rasa"nya jadi beda, Di.
Bagus banget kalau dikupas dari sisi keilmuan yang dikuasai begini. Sehingga tahu seluk beluk masalah bila dilihat dari sudut pandang para sosiolog.
Aku juga gakkan menambahkan pendapat pribadi yang terlalu dalam karena bagiku pasangan menikah ya..konsekuensinya memiliki keturunan untuk membuat hidup semakin berwarna dan bisa jadi jalan menuju syurga.
Eh baru aja kenal sama gitasav, belum liat videonya hehe. Saya sendiri orang yang nggak mendukung childfree Karena dalam Islam sendiri kita dianjurkan untuk punya banyak anak agar banyak umat Nabi Muhamad. Tapi balik lagi sih ke individu masing masing hehehe
BalasHapusSecara pribadi sih, aku sendiri pernah punya pemikiran seperti itu. Kepengen gak punya anak. Dasarnya mungkin iya, menganggap anak sebagai beban. Jadinya perlu kematangan dulu. Ya mental, ya fisik, ya finansial. Calon suami juga tahu dengan itu. Dia tidak menyoalkannya. Gak menentang atau pun menerima. Kalo aku ngomong, dia cuma diam. Tapi entahlah, begitu nikah hati berubah. Aku mulai terbuka. Dan jadi kepengen punya anak. Mungkin diam2 calon suami berdoa atas pemikiranku tsb. Hehehe.
BalasHapusHmmm, sebenarnya bingung mau komentar seperti apa terkait childfree ini. Karena benar yang dituliskan, fenomena ini muncul dari sebab-sebab yang tertulis. Tapi, satu sisi kalau bicara konteks kebebasan dalam memilih, setiap orang punya hak dalam memilih keberlangsungan hidupnya. Well, setiap pilihan ada risikonya, dan semua orang kembali lagi, berhak memilih risiko mana yang ingin diambil :)
BalasHapusDi saat gitasav dkk memilih childfree, aku & suami malah lagi berjuang buat mendapatkan keturunan lagi. Heheheh. Masing-masing orang punya prinsip & pilihan hidupnya, dan tentu saja selalu ada hal yang melatarbelakangi pilihannya. Makasih untuk pencerahannya mba
BalasHapusChildfree pilihan, tinggal saling menghargai aja ya hehehe. kehadiran anak mema h mbuat capek dan repot tp bahagia punya mereka ga bisa tergantikan.
BalasHapusAku punya temen juga yang menganut childfree, mungkin karena bukan public figur jadinya gak terlalu diketahui masyarakat ya. Memang sih masalah ini jadi pro kontra, jadi dikembalikan lagi pada pribadi masing-masing dengan alasannya. Tapi semoga aja mereka yang memilih childfree bukan karena ikut2an tren tapi ada alasan kuat
BalasHapusaku serahin sama pasangan masing2
BalasHapuskarena merawat anak butuh tanggung jawab besar
semoga yang terbaik buat setiap pasangan yang memutuskan iya atau tidak childfree
Jadi ingat dulu ada temen yang memang ga mau punya anak, karena ada trauma. Dan belakangan jadi tahu tentang Childfree ini, pas rame public fifure itu, akhirnya jadi pro kontra. Tapi semua tergantung masing-masing ya.
BalasHapusTemenku itu aja awalnya gamau, tapi lama kelamaan punya juga, karena dia melihat temannya pada gendong anak. Traumanya juga sudah sembuh.
Saya sendiri nggak memilih child free tsoi memang belum dikasi aja nih hehe. Tapi mengenai keputusan untuk memilih memiliki dan tidak soal anak kembali ke masing-masing pasangan ya mba
BalasHapusKebutuhan punya anak dan tidak itu sebuah kebutuhan dan keputusan pribadi ya mba
BalasHapusisu ini lagi rame banget ya dibahas. di satu sisi sedih sih kok banyak yang ga milih ga mau punya anak. tapi di sisi lain, isu kayak gini punya latar belakang masalah yang memang bikin traumatik, misal pengalaman punya keluarga yang toxic dan melihat sisi orangtua yang menganggap anak jadi beban
BalasHapusSebagaimana kasus-kasus lainnya, faktor budaya membuat hal-hal baru seperti perempuan yang memilih untuk childfree, berkarir dan pilihan lain yang 'tidak sejalan' dengan nilai masyarakat kerap menimbulkan permasalahan. Hasil dari benturan budaya.
BalasHapusKalau saya pribadi melihatnya sih, fine-fine saja memilih childfree. Toh setiap orang berhak memilih dan menentukan apa yang mereka anggap baik untuk diri mereka dan keluarga.
Bukan begitu mbak?
Wahhh di lingkungan komplek ku juga ada yang menerapkan hal ini, sudah menikah berbelas-belas tahun tapi juga belum memiliki anak. Memang jika dilihat kehidupannya sibuk pake banget,jarang sekali pulang. Yahh sudah menjadi pilihannya juga sih, apakah ingin punya atau tidak..
BalasHapusJujur aja, sempat kepikiran childfree karena toh aku pada saat itu kebetulan kerjanya nge-shift di retail company. Kasian anak-anakku kalau emak bapaknya ga ada terus di samping mereka.
BalasHapusBegitu punya anak, yes emang "repot" tapi dalam arti positive, dan pas banget aku keluar karena sikon perusahaan yang tidak kondusif. So happy ada teman kecil mungil lucu yang adalah anak sendiri. Bisa jadi temen curhat pas gede, dan sekarang bisa ke mana-mana dengan pengawalan mereka.
Hidup itu pilihan kok, ya Dee
masing-masing orang pasti ngerti konsekuensi mereka jadi kita gak usah saling judging ya!
Setiap orang tentu memiliki pilihan masing2 untuk keluarganya, termasuk perihal pilihan untuk childfree. Hanya saja masih banyak orang ataupun elemen masyarakat yang tidak siap dan tidak setuju dengan konsep childfree diterapkan oleh seseorang di suatu masyarakat, terkhusus di indonesia.
BalasHapusKarena hal ini bisa menjadi pergunjingan orang, karena kadang kala banyak yang menyebut salah satu kodrat perempuan adalah melahirkan anak. Namun mereka terkadang tidak melihat dan menerima perihal alasan seseorang belum punya anak. Bukan karena alasan childfree atau alasan sengaja menunda memiliki anak. Mungkin saja karena faktor yang diluuar kuasanya dia, semisal memang belum waktunya hamil, belum waktunya memiliki anak dengan alasan-alasan yang mana hanya Tuhan yang mengetahuinya. Namun kadang kala itu semua tidak dipahami oleh masyarakat, dan secara tidak langsung memberi label negatif kepada mereka yang belum memiliki anak meskipunn sudah lama menikah.
bahkan tidak jarang menjadi menjadi perbandingan antara keluarga satu dengan keluarga yang lainnya. Perbandingan yang ditujukan kepaada mereka yang belum memiliki anak, Semisal:
"Tuh liat si BUNGA baru menikah dua bulan sudah hamil aja. Kamu kapan?"
"Tuh liat si MAWAR baru nikah 3 tahun sudah punya anak dua, masa kamu yang udah nikah 5 tahun belum punya anak juga? mandul ya?"
"Dan perbandingan yang lainnya, yang mana memberi tekanan kepada mereka yang belum punya anak.
Ya terkadang memang begitulah yang terjadi, karena saya dan istri pun sering mengalami dan mendapatkan pertanyaan yang sama.
"Kok kamu belum hamil juga?"
:))))
Childfree sebenarnya ga masalah menurutku ketika ia tidak berkoar-koar kemana-mana bahwa ia childfree. Pilihan itu akan terasa asing saat penyampaiannya ga tepat kan di komunitas dan iklim masyarakat di mana ya mbak..
BalasHapussaya menghargai keputusan yang diambil pasangan suami istri untuk childfree karena menurutku saat memutuskan itu mereka pasti udah memikirkannya secara matang. Pasti ada alasan yyang mendasari mereka hingga memutuskan gak punya anak
BalasHapusDampak dari lingkungan pergaulan antara perempuan dan laki laki juga turut berpengaruh memunculkan childfree. Dulu jelang menikah, aku sempat mengatakan keinginan untuk gak punya anak juga gak masalah. Eh dikomentari famili ibuku, kalo menikah itu tujuannya memiliki keturunan. Ternyata Allah juga mempercayakan keturunan pada kami. Jadi menurut aku, pilihan itu sebenarnya sah aja sepanjang gak mengumumkan di media sosial seperti jaman aku dulu. Biar gak dihujat oleh netizen yang paling bijak
BalasHapusPendapat yang mengundang banyak pandangan negatif yaa..
BalasHapusTapi segala keputusan lebih baik dibicarakan dengan pasangan. Kalau sudah sama-sama sepakat akan membawa kebaikan bersama, maka konsekuensi apapun yang jadi resiko kelak, akan ditanggung pula bersama.
Rasanya dulu pas belum punya anak juga pasti repot.
Tapi bukan berarti pasangan yang gak mau punya anak itu hanya gak mau repot. Tapi pasti banyak sekali pertimbangan A to Z.
kalau di negara maju, masalah childfree ini kayaknya sudah biasa ya. cuma memang ketika hal tersebut mulai disuarakan sebagai kampanye wajar kalau ada pertentangan. apalagi dari segi agama Islam juga salah satu tujuan pernikahan adalah mendapatkan keturunan.
BalasHapus