Selama ini banyak perempuan yang harus mengorbankan impiannya. Melepaskan karir yang telah dirintis. Merelakan passionnya. Semua dilakukan hanya untuk anak. Agar anak diasuh dengan tangannya sendiri. Agar anak tak kehilangan figur ibunya.
Tapi hari ini aku melihat ada laki-laki yang rela melakukan semua itu. Merelakan ijazah S2 nya, meninggalkan passion mengajarnya. Semua hanya demi anak dan keluarganya.
Maz Syaif aku biasa memanggilnya. Dia adalah rekan kerjaku saat aku masih merantau di Bandung. Sebagai sesama orang Jawa Timur, kami langsung akrab. Dia selalu membantuku, sudah kuanggap sebagai kakakku sendiri.
Hubungan kami masih terjalin baik. Meskipun ia harus pindah duluan. Kembali ke Jawa Timur. Aku pun kenal baik dengan istrinya. Kami sudah seperti saudara.
Hari ini aku sedang menemani suamiku dinas luar kota. Kebetulan suamiku ada acara dinas di Mojokerto, tempat tinggal Mas Syaif. Aku pun menghubunginya, menanyakan apakah dia bisa menemaniku. Sudah lama kami tak bertemu. Dia setuju, maka dijemputnya aku, berpamitan dengan suamiku.
Kami makan siang bersama. Ku tanya kabarnya. Apa kesibukannya setelah lulus dari S2 setahun yang lalu. Dia bercerita bahwa banyak tawaran untuk menjadi dosen tetap. Beberapa bahkan datang dari kampus-kampus ternama. Namun semua itu terpaksa dia tolak.
Istrinya tak mau meninggalkan kampung halaman. Ingin merawat kedua orangtuanya yang sudah sepuh. Pun tak mau lagi menjalani long distance marrige (LDM). Sudah kapok mungkin. Dulu mereka pernah LDM an selama dua tahun.
Lalu kutanya, apa dia nggak sayang dengan ijazah S2 nya? Bukankah saat kuliah S2 perjuangannya juga mati-matian? Bukankah dia ingin sekali jadi dosen makanya dia kuliah S2. Hati kecilnya ingin sekali jadi dosen. Tapi baginya keutuhan rumah tangga lebih penting. Masa depan anaknya yang utama.
Sekarang kesibukannya adalah mengurusi administrasi sebuah yayasan milik mertuanya. Dia merelakan cita-citanya. Merelakan kecintaannya pada dunia mengajar.
Aku tahu, bebannya pasti berat. Hidup dalam bayang-bayang kebesaran mertuanya. Mertuanya adalah orang yang terpandang, ditambah lagi dia adalah menantu satu-satunya. Bahkan pekerjaan yang dilakukannya sekarang adalah atas fasilitas nama besar mertuanya.
Dia juga cerita, betapa masa kecilnya dulu tumbuh tanpa kasih sayang seorang ayah. Ayahnya bekerja di luar pulau. Jarang pulang. Dia sudah meraskan tidak enaknya tumbuh tanpa kasih sayang seorang ayah. Dia tak mau anaknya merasakan hal yang sama.
Kasih sayang pada anaknya jauh lebih besar dari sekadar impiannya menjadi dosen. Biarlah dia tak punya karir yang cemerlang. Asal dia bisa selalu hadir di setiap tumbuh kembang kedua buah hatinya.
Terimakasih ya mas. Hari ini sudah memberiku pelajaran berharga. Bahwa di dunia ini ada hal yang lebih layak diperjuangkan dibandingkan sekadar passion dan cita-cita. Anak adalah kebahagiaan utama yang harus dipertahankan.
Kudoakan Tuhan akan selalu memberimu kemudahan. Memudahkan jalanmu meraih semua impianmu dengan tetap terus berada di sisi keluarga kecilmu. Salam untuk mbak Ratri, istrimu.
Tidak ada komentar
Posting Komentar