Wah,, novel kedua Dilan ini kembali membuat saya senyum-senyum sendiri saat membaca rayuan Dilan ke Milea. Rayuan yang sederhana tapi pas banget. Cerita yang pas banget menggambarkan pacarannya anak SMA tahun 90 an. Ya, walaupun saya pas tahun 90an masih balita ya kurang lebih sama seperti pacaran saya saat SMA dulu. Tahun 2000an, telepon adalah pahlawan terbesar demi kelangsungan pacaran,hahaha.
Kisah Dilan dan Milea di buku kedua ini memang lebih banyak konflik. Berbeda dengan buku pertama yang penuh dengan romansa kebahagian. Berbunga-bunga saat baru jadian. Ah..
Tapi salut buat Pidi Baiq yang menuliskan akhir yang anti mainstream ini. Mungkin sebagian besar pembaca ingin akhir yang bahagia. Layaknya Cinta dan Rangga gitu. Tapi disini, ternyata Milea harus putus dengan Dilan. Kisah cinta mereka hanya sebatas romansa putih abu-abu.
Dilan, sekalipun sangat mencintai Milea ternyata tidak bisa membuat dia berhenti untuk tidak takut berkelahi demi memperjuangkan hak yang dia anggap benar. Kematian Akew membuat dia harus balas dendam. Rasa setia kawannya yang tinggi akhirnya membuat dia kehilangan Milea.
Milea, rasa cintanya yang besar pada Dilan membuat dia sangat posesif. Melarang Dilan ikut geng motor karena tak ingin Dilan terlibat masalah. Putus menjadi hal yang harus dipilih kendati hati masih penuh cinta.
Ah, novel ini sukses mengaduk emosi. Kenapa dua orang yang saling mencintai harus menyerah dengan keadaan. Tak bisakah Dilan berubah demi Milea? Tak bisakah Milea bersabar sedikit untuk menunggu Dilan berubah?
Namanya juga kisah cinta SMA, masih mengedepankan emosi lah. Biar kisah Dilan dan Milea cukup sampai disini. Menjadi kenangan masa SMA.
Dan kamu Milea, baiknya jangan ingat-ingat mantan ya kalau sudah nikah, hehehe..
baca buku yang kedua dan ketiga ini bikin nangis..
BalasHapusApalagi yang suara Milea...hiks hiks
tapi tetep saja aku suka..
One of my favo book