Beberapa
hari terakhir media sosial di hebohkan dengan kasus pelecehan seksual yang
dialami siswi TK di Bogor. Kasus ini terjadi sekitar tiga bulan lalu, tepatnya
di bulan Mei. Namun mengapa kembali menjadi viral, karena sampai sekarang kasus
tersebut belum bias diselesaikan. Kekerasan seksual terhadap anak menjadi
sebuah fenomena gunung es. Begitu banyak yang belum terpecahkan. Berdasarkan data
dari KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia), setiap tahunnya angka kekerasan
seksual pada anak terus meningkat. Data terakhir KPAI menunjukkan bahwa dari
tahun 2014 ke 2015, kasus kekerasan seksual pada anak meningkat 100%.
Terjadinya
kekerasan seksual pada anak tidak bisa dilepas dari peran orang tua. Pola pengasuhan
orang tua menjadi faktor yang penting dalam mencegah anak menjadi korban
ataupun pelaku kekerasan seksualitas. Banyak orang tua yang tidak menyadari
bahwa sekarang adalah era digital. Apa itu era digital ? Era digital merupakan
istilah yang digunakan dalam kemunculan digital, jaringan internet, atau lebih
khusus lagi teknologi informasi (www.winstarlink.com). Era digital ditandai
dengan adanya teknologi, di mana terjadi peningkatan pada kecepatan dan arus
pergantian pengetahuan dalam ekonomi dan kehidupan masyarakat
(www.igi-global.com).
Studi
di Indonesia menyebutkan setidaknya 30 juta anak-anak dan remaja di Indonesia
merupakan pengguna internet, di mana 80% responden menggunakan internet untuk
mencari data dan informasi, 70% untuk bertemu teman online melalui platform
media sosial, 65% untuk musik, dan 39% untuk situs video. 24% berinteraksi dengan
orang yang tidak dikenal dan 25% memberitahukan alamat dan nomor telepon
mereka. 52% menemukan konten pornografi melalui iklan atau situs yang tidak
mencurigakan dan 14% mengakui telah mengakses situs porno secara sukarela.
Hanya 42% responden yang menyadari risiko ditindas secara online dan 13% di
antaranya telah menjadi korban. (400 subyek usia 10-19 tahun, Sumber: Unicef
dan Kemenkominfo, 2014).
Pengasuhan
di era digital tentu berbeda dengan pengasuhan zaman dulu. Orang tua perlu
merubah pola pengasuhannya. Salah satu pola pengasuhan di era digital adalah
pendidikan berbasis fitrah. Setiap anak lahir dengan fitrahnya masing-masing. Tugas
orangtua adalah membangkitkan fitrah yang dimiliki anak, agar fitrah-fitrah
tersebut mampu berkembang optimal.
Fitrah
seksualitas adalah bagaimana seseorang berpikir, merasa dan bersikap sesuai
dengan fitrahnya sebagai lelaki sejati atau sebagai perempuan sejati. Pendidikan
fitrah seksualitas tentu berbeda dengan pendidikan seks. Memulai pendidikan
fitrah seksualitas tentu pada awalnya tidak langsung mengenalkan anak pada
aktivitas seksual, seperti masturbasi atau yang lainnya.
Ada
tiga tujuan utama yang ingin dicapai pada pendidikan fitrah seksualitas ini. Pertama, membuat anak mengerti tentang
identitas seksualnya. Anak bisa memahami bahwa dia itu laki-laki ataupun
perempuan. Anak sudah harus bisa memastikan identitas seksualnya sejak berusia
tiga tahun. Orangtua mengenalkan organ seksual yang dimiliki oleh anak. Ada
baiknya dikenalkan dengan nama ilmiahnya, misalnya vagina pada perempuan atau
penis pada laki-laki. Mengapa harus nama ilmiah? Ini menghindarkan pada
pentabuan. Selama ini pembicaraan seputar seksuitas dianggap tabu oleh
masyarakat. Karena penjelasannya seringkali tidak secara ilmiah. Hal yang tabu
ini bisa mendorong anak untuk mencari-cari secara sembunyi-sembunyi. Dan ini
pada akhirnya akan memulai datangnya masalah penyimpangan seksual pada anak. Orangtua
harus menjadi pihak pertama yang secara jujur dan terbuka dalam menyampaikan
hal yang berkaitan dengan organ seksual anak. Sehingga anak akan mampu dengan
jelas memahami identitas seksualnya.
Kedua,
mengenali peran seksualitas yang ada pada dirinya. Anak mampu menempatkan dirinya
sesuai peran seksualitasnya. Seperti cara berbicara, cara berpakaian atau merasa,
berpikir dan bertindak. Sehingg anak akan mampu dengan tegas menyatakan
"saya laki-laki" atau "saya perempuan". Ketiga, mengajarkan anak untuk
melindungi dirinya dari kejahatan seksual. Ketika anak sudah lancar berbicara
dan mulai berkativitas dengan peer groupnya di luar rumah, maka orangtua perlu
mengajarkan tentang area pribadi tubuhnya. Area pribadi tubuh adalah bagian
tubuh yang tidak boleh dipegang oleh orang lain, kecuali untuk pemeriksaan atau
untuk dibersihkan. Hanya orangtua ataupun dokter yang boleh memegang area
pribadi ini. Ada empat area pribadi yaitu anus, kemaluan, payudara dan
mulut. Dengan demikian anak akan waspada
kepada pihak-pihak yang akan melakukan kejahatan seksual padanya.
Bila
anak sudah mengerti fitrah seksualitasnya, maka dia akan mampu melindungi
tubuhnya dari kejahatan seksual. Anak yang fitrah seksualitasnya berkembang
dengan baik, akan terhindar dari kejahatan seksual, baik sebagai korban maupun
pelaku.
Ditulis
Oleh :
Dian
Kusumawardani, S.Sos.
Fasilitator
Omah Rame